Senin, 31 Maret 2014

Kepergok CD

0 komentar
“Sial betul hari ini!” Perasaan kesalku tak terbendung lagi. Bagaimana tidak, sudah berlarut-larut mencoba menyelesaikan tugas masih juga kebobolan maling. Lewat jam dua belas aku tidur. Jam sepuluh pintu kamar sudah dicek. Pintu garasi motor sudah dipalang obeng dan stik mixer. Masih saja ada yang raib.
Kebiasaan tidur malamku ternyata masih belum membuahkan hasil. Celurit yang aku gantung di depan meja kerjaku pun belum pula menuai korban. Sudah delapan tahun sejak aku menghuni rumah ini, baru kali ini kena begonya.
Sepertinya memang aneh malam tadi. Istriku juga merasakan hal yang sama. Kami sama-sama tertidur lelap. Anak-anak pulas dengan neneknya di ruang paviliun. Sang kakek tidur di kamar yang lain. Kamar kerjaku kosong. Arsip, kas masjid, komputer, dan berang-barang berharga lainnya lengkap. Sertifikat-sertifikat juara pun masih nangkring di tempat semula. Hp masih terhimpit di atara kain-kain sarung.
Awalnya istriku ketakutan untuk membuka kamar kerjaku yang terletak paling depan rumah kami. Takut kalau-kalau ada yang hilang. Nenek anak-anaklah yang pertama kali menemukan keanehan. Tikus, kucing, atau maling? Gumamnya sepanjang setengah jam dari waktu subuh. Waktu sembahyang menggerser pelan, namun kami masih cekakak-cekikik mengungkap siapa yang dengan cerdas beraksi tadi malam.
Laci-laci kabinet di kamar ibu terbuka layaknya tangga. Satu, dua, tiga, dan empat pintu saling silang seperti sedang bermain jackpot. Aneh, segala dompet bertaburan. Dompet baru, dompet apak, dompet jamuran, dompet kulit semuanya tercecer. Ada kucing cerdas, pikirnya.
Tas kerja jinjing, khas tante-tante yang hobi arisan pun turun kastok semua. Berjejer rapi, hanya isinya yang tabur. Sebuah tas dada, khusus jama’ah haji, tergolek tak berdaya di depan pintu garasi. Isinya tersemburai, tercecer tak bergerak lagi. berantakan.
Bergerak ke ruang tivi, tas kerja istriku mulai menampakkan hal yang mencurigakan. Kotak pensil terbuka, dompet ibu dan anak merk Sofie Martin tercecer. Isinya? Raib tak berjejak. Kerja sama yang matcing antara tikus dan kucing.
“Hagh…!” teriakku kencang dalam batin, aku pun menahannya sekuat mulutku. Malu kalau kelihatan kaget sama mertua. Jendela samping parkir motor matikku ternganga lebar. Penyangga suda bengkok tak berbentuk. Persis di depan akuarium jendela itu terbuka.
“Apa yang ilang Mak?” tanyaku menelisik tak punya rasa bersalah.
Ibu mertua cuma tersenyum dan bergumam kencang, “Nggak ada Ed…”.
Syukurlah kalau begitu. Tapi, kalau dipikir-pikir, tak mungkin tikus dan kucing secerdas itu. Meski mereka dalam kondisi konsentrasi penuh untuk aksinya. Meski mereka sedang gencatan tenaga untuk satu fokus, rumah kami.
Di kamar tempat anak-anak tidur tadi malam, pintu lemari terbuka semua. Mustahil Ibu tak mendengar apa-apa, meskipun itu nyata. Sudahlah aku mandi dulu, sebentar lagi harus masuk kerja. Masih syukur motorku aman, padahal kunci menggantung pasrah di kusen kamar ruang tengah. Ambil, plug and play, siap start.
***

Sabtu sore memang asyik berkumpul dengan anak-anak. Mereka asyik main dagang-dagangan layaknya para penjual di Pasar Bambu Kuning. Ditambah lagi dengan adanya keponakan yang tinggal di depan rumah yang kebetulan main.
“Mbak Awa yang jualan, Adek yang beli, Bibin yang jadi tukang ojeknya!” atur anak pertamaku pada adik dan sepupunya. Asyik sekali mereka dagang. Orang Padang memang harus bisa berbisnis, minimal kaki lima.
Toko mereka adalah ruang makan, tempat aku biasa sembunyikan motor saat merasa terpenat. Dari dalam, Mbak Awa membuka dagangannya. Jendela dibuka lebar-lebar, dia duduk layaknya tukang sayur sedang meladeni penjual sayur keliling dan para pembantu. Adiknya sibuk menghitung uang kertas yang terbuat dari lembaran sobekan koran bekas.
Lucu mereka. Betingkah layaknya orang-orang dewasa. Damai, indah, mereka mengajarkan bagaimana seharusnya bersaing. Tukang ojek tidak iri dengan banyakknya uang kertas pendagang. Pedagang merasa senang karena ada tukang ojek dan pembelinya.
Sesekali terdengar gelak tawa dari transaksi yang mereka lakukan. Oskar pun akan tertawa jika memahami kata-kata anak-anakku. Ia hanya diam, bisanya menempel kaca dan minta ditaburi pelet.
Bibin, si tukang ojek, tidak tahan lama-lama menunggu Adek untuk naik di belakangnya. Sepeda butut dan ban kempes tidak memupuskan cita-citanya menjadi tukang ojek sejati.
Jam dinding, jarumnya kian melintang, membentuk sudut 180 derajat. Aku biasanya merasakan adanya hembusan angin kencang dua pekan ini. Kemudian disusul gerimis dan hujan.
Terus, tanpa ditegur, Mbak Awa akan terus berjualan. Angin makin dingin, bisa-bisa mereka tidak mandi sore lagi.
***

Hari ketiga pekan ini. Motor sudah dipanasi, tinggal ‘greng’ siap meluncur ke terminal. Baju Pemdaku sudah mulai menyempit. Panjang celana kini sudah mulai terlihat nggantung, seratus delapan puluh sentimeter. Hari ini, meski banyak para PNS yang menggunakan batik, aku lebih suka mengenakan baju dinas. Masih untung, untuk menyiasati kenek bus yang banyak mulut. Laga-laganya tidak kenal sama penumpang yang baru beberapa bulan melanggan busnya. Terus saja dimintanya bayar full.
Sebentar lagi jam setengah enam, sarapan nasi semalam dengan sayur kemarin yang dihangatkan cukup mengganjal perutku. Menekan urat pusingku di bus AC nanti. Mengusir rasa masuk anginku hingga terdesak lewat pintu belakang.
“Ed, hp Mamak hilang. Punya istrimu juga hilang.” Informasi dari ujung dapur sana. Hampir-hampir menyedakkan tenggorokanku.
Aku menganggapnya itu adalah informasi sementara. Tugas utamaku kini adalah memiscall dua benda yang sanggup bicara sendiri itu. Kartu satu milik istriku, kata perempuan di seberang sana tidak bisa dihubungi. Kartu dua, sama saja. Kini giliran kartu mertuaku, sama saja. ‘Nomor yang Anda hubungi di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi!’ berkali-kali.
Puih, dasar mbak Fero. Positif hilang hp mereka, begitu hipotesa batinku. Kucing tidak mungkin, tikus apalagi. Kecuali mereka adalah Tom & Jerry. Waduh, siapa ya kira-kira? Tanyaku dalam hati.
“Bagaimana kalau babi ngepet?” sergahku kemudian. Angh, tak mungkin juga. Rumah kami, meski biasa diserobot air saat hujan dengan tampiyasannya, tapi untuk seekor babi ngepet tidak mungkin. Istriku tiap hari mengaji, anak-anak juga diajaknya selepas maghrib. Sembahyang juga tidak lewat barang setengah rakaat pun.
Aku kembali tidak puas. Jendela yang tadi terbuka aku raba dengan mesra. Seperti sedang mencari lekuk-lekuk yang aneh. Tidak ada. Bekas congkelan palu, bekas jungkitan obeng, dan bekas cungkilan ganco juga tidak ada. Terbuka begitu saja. Menambah kemerindingan bulu kuduk. Hebat, juara mentalist pun tak sanggup membuka jendela pintu dapur tanpa bantuan ganco.
Kejadian pagi ini hampir-hampir menahanku untuk tidak mengenakan sepatu dan berangkat mengais rezeki. Sambil menahan malas, aku tetap kenakan sepatuku. Setengah enam lewat, kira-kira terlambat tidak ya?
Mungkin pulang nanti aku harus membeli kartu perdana, meski istriku menolak untuk ganti nomor. Handphone masih ada satu pikirku. Dual sim sebenarnya, tapi karena kelakuan anak-anak hanya sim 1 yang masih bisa digunakan. Mamak, ibu mertuaku, bagaimana? Aku hanya berpikir, dia kan punya suami… Untung hanya handphone yang hilang.
Segala gembok dan grendel juga kami perlukan. Pintu paviliun, dapur, dan pintu depan. Harus ekstra kunci sekarang ini.
“Ed…!” suara ibu mertua datang dari arah kamar paviliunnya. Dia seperti sangat sedih, khawatir.
“Berkas Mamak hilang, sama tas-tasnya. Buku arisan keluarga juga lenyap di bawa maling…,” suaranya melirih. Mamak baru saja pensiun lima tahun yang lalu. Segala kenangan di tempat kerja, susah senang jadi guru PNS, raib.
Kami berpikir, bahwa berkas-berkas yang ada di tas kantor itu dianggapnya leptop. Yang lebih aneh, buku arisan keluarga besar ikut digondolnya. Jangan-jangan mereka, maling itu, maniak arisan. Tebakku.
Kami harus lapor ke kantor polisi. RT adalah langkah pertama, kemudian kami akan ke yang berwajib. Urusan kepegawaian kota ini juga perlu tahu. Pasalnya, SK-SK itu sangat penting. Apalagi, pasport Mamak juga ada di dalamnya.
***

Sampailah aku di kantor. Seorang kawan mengomentari kejadian di rumah. Mas Bro, begitu panggilan akrabnya, mencoba menebak karakter. Dia bilang, maling ini sudah mengenal kondisi rumah. Prediksinya didasari pada pintu jendela yang terbuka tanpa cacat. Kamar yang disatroninya pun seperti sudah dipetakan. Waktu yang sempit pun menjadi alasan tersendiri untuk memperkuat perkiraannya.
Lain Mas Bro lain pula Jeng Widi. Dia pernah mendapat cerita yang sama. Bahwa, ada seseorang yang pernah kemalingan tanpa perlawanan. Kupingnya mendengar, tapi mulut dan matanya tidak bisa dibuka sama sekali. Suaranya tertelan, sementara matanya terus terkatup. Maling menggunakan guna-guna sebelum aksinya.
Kantor hari ini tidak memberikan rasa nyaman. Hawanya ingin segera pulang. Namun, kewajiban menuntutku untuk segera menyelesaikan pekerjaan yang dideadline oleh bos. Handphone baru adalah solusi komunikasi untuk ibunya anak-anak. Mau bolos, malu sama anak buah. Sudahlah, sebentar lagi juga selesai.
***

“Mas, tahu nggak, tas kerjaku yang kemalingan?” cecar istriku sepulangku dari kerja.
“Kenapa, putus?” aku balik bertanya. “Kan masih baru?” kembali aku balik bertanya.
Istriku semakin antusias menceritakan hal lucu yang tak disengajanya. Kemarin sore, dia meletakkan CD ke dalam tasnya. Karena keasyikan menjawab pesan pendek di hp-nya dia lupa menurunkan barang antik itu. Hp ditinggalkannya di samping tas yang memang baru sepekan ini dikreditnya.
Bisa jadi gara-gara segi tiga pengaman ini maling buru-buru kabur. Buktinya motor yang tinggal tancap gas saja terlewati. Menurut mitos, barang ini bisa mendatangkan sial. Beruntung sekali, biasanya maling-maling kelas teri sangat mempercayainya. Hal ini akan mendatangka efek jera yang sejera-jeranya. Lebih sial dari kami yang hanya kehilangan barang.
Berbeda dengan maling-maling kelas kakap. Jangankan selembar kain, Tuhan yang menciptakan jagat raya ini saja dia tidak ketakutan. Mereka makin berani untuk terus korupsi. Mereka tidak lagi menunggu malam sepi untuk beraksi. Tidak lagi harus meninabobokkan penghuni rumah sekedar untuk menguras dompet butut dan apak. Mereka terang-terangan, bahkan bangga melambaikan tangan bak artis ibukota. Senang karena diliput oleh media.
Maling modern ini makin angkuh. Setiap orang dia anggap enteng untuk disogok. Mereka hanya akan berhenti saat tanah disumpalkan ke dalam mulutnya.
Selepas dari rumah ini semoga para maling itu akan jera. Semoga mereka kapok dan mau mengembalikan berkas-berkas Mamakku.
***

Leave a Reply

Labels