“Sial
betul hari ini!” Perasaan kesalku tak terbendung lagi. Bagaimana tidak, sudah
berlarut-larut mencoba menyelesaikan tugas masih juga kebobolan maling. Lewat
jam dua belas aku tidur. Jam sepuluh pintu kamar sudah dicek. Pintu garasi
motor sudah dipalang obeng dan stik mixer. Masih saja ada yang raib.
Kebiasaan
tidur malamku ternyata masih belum membuahkan hasil. Celurit yang aku gantung
di depan meja kerjaku pun belum pula menuai korban. Sudah delapan tahun sejak
aku menghuni rumah ini, baru kali ini kena begonya.
Sepertinya
memang aneh malam tadi. Istriku juga merasakan hal yang sama. Kami sama-sama
tertidur lelap. Anak-anak pulas dengan neneknya di ruang paviliun. Sang kakek
tidur di kamar yang lain. Kamar kerjaku kosong. Arsip, kas masjid, komputer,
dan berang-barang berharga lainnya lengkap. Sertifikat-sertifikat juara pun
masih nangkring di tempat semula. Hp masih terhimpit di atara kain-kain sarung.
Awalnya
istriku ketakutan untuk membuka kamar kerjaku yang terletak paling depan rumah
kami. Takut kalau-kalau ada yang hilang. Nenek anak-anaklah yang pertama kali
menemukan keanehan. Tikus, kucing, atau maling? Gumamnya sepanjang setengah jam
dari waktu subuh. Waktu sembahyang menggerser pelan, namun kami masih
cekakak-cekikik mengungkap siapa yang dengan cerdas beraksi tadi malam.
Laci-laci
kabinet di kamar ibu terbuka layaknya tangga. Satu, dua, tiga, dan empat pintu saling
silang seperti sedang bermain jackpot. Aneh, segala dompet bertaburan. Dompet
baru, dompet apak, dompet jamuran, dompet kulit semuanya tercecer. Ada kucing
cerdas, pikirnya.
Tas
kerja jinjing, khas tante-tante yang hobi arisan pun turun kastok semua.
Berjejer rapi, hanya isinya yang tabur. Sebuah tas dada, khusus jama’ah haji,
tergolek tak berdaya di depan pintu garasi. Isinya tersemburai, tercecer tak
bergerak lagi. berantakan.
Bergerak
ke ruang tivi, tas kerja istriku mulai menampakkan hal yang mencurigakan. Kotak
pensil terbuka, dompet ibu dan anak merk Sofie Martin tercecer. Isinya? Raib
tak berjejak. Kerja sama yang matcing antara tikus dan kucing.
“Hagh…!”
teriakku kencang dalam batin, aku pun menahannya sekuat mulutku. Malu kalau
kelihatan kaget sama mertua. Jendela samping parkir motor matikku ternganga
lebar. Penyangga suda bengkok tak berbentuk. Persis di depan akuarium jendela
itu terbuka.
“Apa
yang ilang Mak?” tanyaku menelisik tak punya rasa bersalah.
Ibu
mertua cuma tersenyum dan bergumam kencang, “Nggak ada Ed…”.
Syukurlah
kalau begitu. Tapi, kalau dipikir-pikir, tak mungkin tikus dan kucing secerdas
itu. Meski mereka dalam kondisi konsentrasi penuh untuk aksinya. Meski mereka
sedang gencatan tenaga untuk satu fokus, rumah kami.
Di
kamar tempat anak-anak tidur tadi malam, pintu lemari terbuka semua. Mustahil
Ibu tak mendengar apa-apa, meskipun itu nyata. Sudahlah aku mandi dulu,
sebentar lagi harus masuk kerja. Masih syukur motorku aman, padahal kunci
menggantung pasrah di kusen kamar ruang tengah. Ambil, plug and play, siap
start.
***
Sabtu
sore memang asyik berkumpul dengan anak-anak. Mereka asyik main dagang-dagangan
layaknya para penjual di Pasar Bambu Kuning. Ditambah lagi dengan adanya
keponakan yang tinggal di depan rumah yang kebetulan main.
“Mbak
Awa yang jualan, Adek yang beli, Bibin yang jadi tukang ojeknya!” atur anak
pertamaku pada adik dan sepupunya. Asyik sekali mereka dagang. Orang Padang
memang harus bisa berbisnis, minimal kaki lima.
Toko
mereka adalah ruang makan, tempat aku biasa sembunyikan motor saat merasa
terpenat. Dari dalam, Mbak Awa membuka dagangannya. Jendela dibuka lebar-lebar,
dia duduk layaknya tukang sayur sedang meladeni penjual sayur keliling dan para
pembantu. Adiknya sibuk menghitung uang kertas yang terbuat dari lembaran
sobekan koran bekas.
Lucu
mereka. Betingkah layaknya orang-orang dewasa. Damai, indah, mereka mengajarkan
bagaimana seharusnya bersaing. Tukang ojek tidak iri dengan banyakknya uang
kertas pendagang. Pedagang merasa senang karena ada tukang ojek dan pembelinya.
Sesekali
terdengar gelak tawa dari transaksi yang mereka lakukan. Oskar pun akan tertawa
jika memahami kata-kata anak-anakku. Ia hanya diam, bisanya menempel kaca dan
minta ditaburi pelet.
Bibin,
si tukang ojek, tidak tahan lama-lama menunggu Adek untuk naik di belakangnya.
Sepeda butut dan ban kempes tidak memupuskan cita-citanya menjadi tukang ojek
sejati.
Jam
dinding, jarumnya kian melintang, membentuk sudut 180 derajat. Aku biasanya
merasakan adanya hembusan angin kencang dua pekan ini. Kemudian disusul gerimis
dan hujan.
Terus,
tanpa ditegur, Mbak Awa akan terus berjualan. Angin makin dingin, bisa-bisa
mereka tidak mandi sore lagi.
***
Hari
ketiga pekan ini. Motor sudah dipanasi, tinggal ‘greng’ siap meluncur ke
terminal. Baju Pemdaku sudah mulai menyempit. Panjang celana kini sudah mulai
terlihat nggantung, seratus delapan puluh sentimeter. Hari ini, meski banyak
para PNS yang menggunakan batik, aku lebih suka mengenakan baju dinas. Masih
untung, untuk menyiasati kenek bus yang banyak mulut. Laga-laganya tidak kenal
sama penumpang yang baru beberapa bulan melanggan busnya. Terus saja dimintanya
bayar full.
Sebentar
lagi jam setengah enam, sarapan nasi semalam dengan sayur kemarin yang
dihangatkan cukup mengganjal perutku. Menekan urat pusingku di bus AC nanti.
Mengusir rasa masuk anginku hingga terdesak lewat pintu belakang.
“Ed,
hp Mamak hilang. Punya istrimu juga hilang.” Informasi dari ujung dapur sana.
Hampir-hampir menyedakkan tenggorokanku.
Aku
menganggapnya itu adalah informasi sementara. Tugas utamaku kini adalah
memiscall dua benda yang sanggup bicara sendiri itu. Kartu satu milik istriku,
kata perempuan di seberang sana tidak bisa dihubungi. Kartu dua, sama saja.
Kini giliran kartu mertuaku, sama saja. ‘Nomor yang Anda hubungi di luar
jangkauan, cobalah beberapa saat lagi!’ berkali-kali.
Puih,
dasar mbak Fero. Positif hilang hp mereka, begitu hipotesa batinku. Kucing tidak
mungkin, tikus apalagi. Kecuali mereka adalah Tom & Jerry. Waduh, siapa ya
kira-kira? Tanyaku dalam hati.
“Bagaimana
kalau babi ngepet?” sergahku kemudian. Angh, tak mungkin juga. Rumah kami,
meski biasa diserobot air saat hujan dengan tampiyasannya, tapi untuk seekor
babi ngepet tidak mungkin. Istriku tiap hari mengaji, anak-anak juga diajaknya selepas
maghrib. Sembahyang juga tidak lewat barang setengah rakaat pun.
Aku
kembali tidak puas. Jendela yang tadi terbuka aku raba dengan mesra. Seperti
sedang mencari lekuk-lekuk yang aneh. Tidak ada. Bekas congkelan palu, bekas
jungkitan obeng, dan bekas cungkilan ganco juga tidak ada. Terbuka begitu saja.
Menambah kemerindingan bulu kuduk. Hebat, juara mentalist pun tak sanggup
membuka jendela pintu dapur tanpa bantuan ganco.
Kejadian
pagi ini hampir-hampir menahanku untuk tidak mengenakan sepatu dan berangkat
mengais rezeki. Sambil menahan malas, aku tetap kenakan sepatuku. Setengah enam
lewat, kira-kira terlambat tidak ya?
Mungkin
pulang nanti aku harus membeli kartu perdana, meski istriku menolak untuk ganti
nomor. Handphone masih ada satu pikirku. Dual sim sebenarnya, tapi karena
kelakuan anak-anak hanya sim 1 yang masih bisa digunakan. Mamak, ibu mertuaku,
bagaimana? Aku hanya berpikir, dia kan punya suami… Untung hanya handphone yang
hilang.
Segala
gembok dan grendel juga kami perlukan. Pintu paviliun, dapur, dan pintu depan.
Harus ekstra kunci sekarang ini.
“Ed…!”
suara ibu mertua datang dari arah kamar paviliunnya. Dia seperti sangat sedih,
khawatir.
“Berkas
Mamak hilang, sama tas-tasnya. Buku arisan keluarga juga lenyap di bawa
maling…,” suaranya melirih. Mamak baru saja pensiun lima tahun yang lalu.
Segala kenangan di tempat kerja, susah senang jadi guru PNS, raib.
Kami
berpikir, bahwa berkas-berkas yang ada di tas kantor itu dianggapnya leptop.
Yang lebih aneh, buku arisan keluarga besar ikut digondolnya. Jangan-jangan
mereka, maling itu, maniak arisan. Tebakku.
Kami
harus lapor ke kantor polisi. RT adalah langkah pertama, kemudian kami akan ke
yang berwajib. Urusan kepegawaian kota ini juga perlu tahu. Pasalnya, SK-SK itu
sangat penting. Apalagi, pasport Mamak juga ada di dalamnya.
***
Sampailah
aku di kantor. Seorang kawan mengomentari kejadian di rumah. Mas Bro, begitu
panggilan akrabnya, mencoba menebak karakter. Dia bilang, maling ini sudah
mengenal kondisi rumah. Prediksinya didasari pada pintu jendela yang terbuka
tanpa cacat. Kamar yang disatroninya pun seperti sudah dipetakan. Waktu yang
sempit pun menjadi alasan tersendiri untuk memperkuat perkiraannya.
Lain
Mas Bro lain pula Jeng Widi. Dia pernah mendapat cerita yang sama. Bahwa, ada
seseorang yang pernah kemalingan tanpa perlawanan. Kupingnya mendengar, tapi
mulut dan matanya tidak bisa dibuka sama sekali. Suaranya tertelan, sementara
matanya terus terkatup. Maling menggunakan guna-guna sebelum aksinya.
Kantor
hari ini tidak memberikan rasa nyaman. Hawanya ingin segera pulang. Namun,
kewajiban menuntutku untuk segera menyelesaikan pekerjaan yang dideadline oleh
bos. Handphone baru adalah solusi komunikasi untuk ibunya anak-anak. Mau bolos,
malu sama anak buah. Sudahlah, sebentar lagi juga selesai.
***
“Mas,
tahu nggak, tas kerjaku yang kemalingan?” cecar istriku sepulangku dari kerja.
“Kenapa,
putus?” aku balik bertanya. “Kan masih baru?” kembali aku balik bertanya.
Istriku
semakin antusias menceritakan hal lucu yang tak disengajanya. Kemarin sore, dia
meletakkan CD ke dalam tasnya. Karena keasyikan menjawab pesan pendek di hp-nya
dia lupa menurunkan barang antik itu. Hp ditinggalkannya di samping tas yang
memang baru sepekan ini dikreditnya.
Bisa
jadi gara-gara segi tiga pengaman ini maling buru-buru kabur. Buktinya motor
yang tinggal tancap gas saja terlewati. Menurut mitos, barang ini bisa
mendatangkan sial. Beruntung sekali, biasanya maling-maling kelas teri sangat
mempercayainya. Hal ini akan mendatangka efek jera yang sejera-jeranya. Lebih
sial dari kami yang hanya kehilangan barang.
Berbeda
dengan maling-maling kelas kakap. Jangankan selembar kain, Tuhan yang
menciptakan jagat raya ini saja dia tidak ketakutan. Mereka makin berani untuk
terus korupsi. Mereka tidak lagi menunggu malam sepi untuk beraksi. Tidak lagi
harus meninabobokkan penghuni rumah sekedar untuk menguras dompet butut dan
apak. Mereka terang-terangan, bahkan bangga melambaikan tangan bak artis
ibukota. Senang karena diliput oleh media.
Maling
modern ini makin angkuh. Setiap orang dia anggap enteng untuk disogok. Mereka
hanya akan berhenti saat tanah disumpalkan ke dalam mulutnya.
Selepas
dari rumah ini semoga para maling itu akan jera. Semoga mereka kapok dan mau
mengembalikan berkas-berkas Mamakku.
***