Kamis, 01 Maret 2012

Tindakan Kita Sebatas Kita Memandang Dunia

0 komentar
p4k -- Bila Anda memandang diri Anda kecil, dunia akan tampak sempit, dan tindakan Anda pun jadi kerdil.

Namun, bila Anda memandang diri Anda besar, dunia terlihat luas, Anda pun melakukan hal-hal penting dan berharga.

Tindakan Anda adalah cerimn bagaimana Anda melihat dunia. Sementara dunia Anda tak lebih luas dari pikiran Anda tentang Anda sendiri. Itulah mengapa kita diajarkan untuk berprasangka positif pada diri sendiri, agar kita bisa melihat dunia lebih indah, dan bertindak selaras dengan kebaikan-kebaikan yang ada dalam pikiran kita. Padahal, dunia tak butuh penilaian apa-apa dari kita. Ia hanya memantulkan apa yang ingin kita lihat. Ia menggemakan apa yang kita dengar. Bila kita takut menghadapi dunia, sesungguhnya kita takut menghadapi diri kita sendiri.

Maka, bukan soal apakah kita berprasangka positif atau negatif terhadap diri sendiri. Malampaui di atas itu, kita perlu jujur melihat diri sendiri apa adanya. Dan, duniapun menampakkan realitanya yang selama ini tersembunyi di balik penilaian-penilaian kita. ⊛

sumber : Buku Motivasi Net halaman 6
Continue reading →

GURU TEKOR, MURID NYOHOR

0 komentar
Bandarlampung - p4k -- Ini kisah dari Bu Ani. Dia mengajar di sebuah sekolah lanjutan pertama. SMP swasta dengan status disamakan. Sekolahannya kecil, nyempil di antara hunian penduduk. Lokasinya di tengah kota Bandarlampung. Katanya sih sekolah di sana gratis, alias gak bayar SPP. Wah…, hebat. Ada sekolah gratis. Gratis bukan berarti untuk orang-orang kalangan miskin.

Guru-gurunya terlihat berwibawa, namun sederhana. Eit…, kebalik. Guru-gurunya terlihat sederhana, namun berwibawa. Ada namanya Pak Agus. Sosoknya yang tinggi besar, tegap kehitaman. Sosok ini sangat disegani oleh anak-anak murid.

Dari tiga tingkat, paling-paling jumlah kelasnya ada 3 kelas. Kadang-kadang bisa 4 sampai 5 kelas. Bisa dibayangkan jumlah siswanya. Jika 1 kelas berisi 30 kepala, maksimal kira-kira 150-an kepala. Jumlah gurunya tidak sampai 20 orang, itupun sudah termasuk tenaga TU yang kadang harus merangkap jadi guru.

Sekolah ini memang tidak dikhususkan untuk anak-anak orang kaya. Tapi, kebanyakan murid-miridnya berasal dari kalangan bawah alias miskin. Kehidupan mereka terbatas. Bahkan ada yang hampir-hampir kurang makan. Ada yang tidak bawa uang jajan. Pokoknya ngenes-lah kehidupan murid-muridnya.

Para guru sangat paham kondisi anak-anak. Akibatnya mereka, para guru, tidak tega untuk memberikan tugas yang kira-kira harus merogoh kocek mereka. Apalagi membebani urusan orang tua mereka yang kadang-kadang makan kadang-kadang harus puasa.

Lalu siapa yang menggaji para guru? Harus ditanyakan tuh? Dari mana ya kira-kira? Yang jelas bukan dari SPP para siswa. Menurut Bu Ani, gaji guru-guru tersebut diambilkan dari dana BOS. Mereka rela menerima uang gaji kadang 3 bulan sekali. Asyik, jadi makin gede…! Jangan seneng dulu. Uang gaji yang diterima tiap 3 bulan itu dimaksudkan biar terlihat gede. Waduh…!

Seorang guru yang mengajar di sekolah gratis itu hanya mendapatkan rata-rata 250 ribu per tiga bulannya. Jika dirata-rata per bulan tidak sampai 100 ribu. Sementara gaji tukang cuci di rumah Bu Ani dibayar 300 ribu per bulan. Bu Ani sarjana, pembantu di rumahnya paling-paling lulusan SD, atau bahkan nggak sekolah. Getir ya…? Siapa nih yang salah? Bu Ani atau pembantu rumahnya?

Dihitung-hitung untuk biaya operasionalnya saja nggak cukup. Uang 100 ribu, ditengah-tengah kehidupan kota, seperti orang yang numpang lewat. Menunggunya 3 bulan, habisnya sehari. Ya gimana lagi, bulan kemarin saja masih ngebon sama tukang sayur. Sama warung sebelah.

Tapi yang sangat disesalkan, masih menurut Bu Ani, anak-anak didiknya tidak mencerminkan kondisi finansial keluarganya. Mereka terlihat bergaya. Dengan henpon yang bagus-bagus. Gaya pakaian yang sedikit norak seperti artis di sinetron-sinetron. Dandanan rambut yang kadang tidak layak untuk seorang murid SMP. Wah, pokoknya kadang makan ati. Bu Ani hanya bisa mengurut dada.

Ketika disinggung dengan biaya kecil-kecilan saja anak-anak banyak yang mengeluh. Tidak ada duit katanya. Tampilannya saja yang nyohor.

Bu Ani dan kawan-kawan guru yang lain tampak menikmati pekerjaan mereka. Mereka terlihat ikhlas mendidik anak-anak yang kadang kelakuannya menyesakkan dada. Kadang bikin emosi naik. Kadang-kadang bikin darah mendidih. Mereka hanya bisa bersabar dengan uluran tangan pemerintah.

Guru-guru disana hanya bisa meluruskan niat. Bahwa mengajar di sana hanya sebatas mengejar nilai dari sisi ibadahnya. Hanya sebatas pengabdian atas ilmu yang selama ini dipelajari. Lain tidak. Untuk mendapatkan gaji yang layak tidak mungkin, kecuali sertifikasi. Untuk sertifikasi jelas tidak memenuhi kriteria. Pasalnya jumlah jam ngajarnya kurang dari yang dipersyaratkan, yakni minimal 24 jam. Hitungannya dari mana?

Tekor, tekor. Gurunya tekor, muridnya nyohor…! ⊛
Continue reading →

Labels