Selasa, 14 Januari 2014

Trio Bujang Ngelakar

0 komentar
Senin, 13 Januari 2014

Sore jam 17.42 kelas aku bubarin. Suara gaduh di luar sangat mempengaruhi anak-anak di dalam kelasku. "Pak Pulang Pak", "Wayahe-wayahe...!", begitu kira-kira celetukan anak-anak. Seperti biasa, selesai doa anak-anak menyalamiku. Yang nggak mau salaman "tak sepatani" (aku doain) nggak naik kelas. Terpaksa mereka menyalamiku. Mereka berebut tanganku yang belum 100% persen sembuh dari kecelakaan 6 bulan lalu.

"Yan, pulang yuk?" seruku pada Wayan. Seorang guru muda, energik, mahasiswa S2 di Unila.

"Ya mas..." tangannya menyambut tangankku untuk salaman. Hahhh..., apa masalahnya si Wayan mencium tanganku. Murid bukan, adek bukan. "Semoga pikiran baik datang dari segala arah", kata si Wayan.

Terlihat juga Mono dan Agil sedang menunggu habisnya anak-anak keluar sekolah sambil mendorong motornya. Aturan yang ketat, tidak boleh ada suara bising knalpot di lingkungan sekolah. KECUALI KNALPOT GURU. Agil terlihat sibuk menarik kartu parkir mbantuin Mas Tarjo. Satpam sekolah yang pernah gagal untuk menjadi ABRI.

Wayan, Mono, dan Agil. Trio Bujang, ungkapan yang pas buat mereka. Jam tanganku sudah membentuk angka 5:56, sebentar lagi magrib. Males rasanya untuk segera pulang. Melihat Trio Bujang masih tegak di teras ruang guru. Motor Varioku tak dorong ke arah mereka. "Mie Suroboyo Pak Dhe yuk...?" ajakku kepada mereka.

"Waah..., kayaknya ada yang mau nraktir makan nih...?" kata Mono sambil tersenyum mengharap. Jidatnya yang kehitaman menunjukkan rajinnya dia sholat. Masih muda memang, kira-kira 9 tahun di bawahku. 

"Ayo kalo mau...!" jawabku. Akhirnya Wayan dan Agil pun tergerak. Kami berempat bergeser dari sekolah menuju lokasi Pak Dhe penjual Mie Suroboyo. Kira-kira 7 kilo dari arah kami mengajar. Rasa-rasanya seperti 'ngemong' sore itu.

Apes, atau untung buatku. Pasalnya Pak Dhe nggak jualan. Mungkin dikarenakan besok hari libur Peringatan Maulid Nabi. Beruntung, ternyata mereka, Trio Bujang, hendak besuk Asror, salah satu guru terbaik di sekolah kami yang telah menghantarkan seorang siswa untuk juara Olimpiade Fisika Terapan hingga tingkat Nasional. Malaria dan DBD kata mereka. 

***

Sesaat setelah sholat magrib, aku, Mono dan Agil kembali ke ruang 319. Wayan nggak ikut sholat. Agil, sosok guru berpostur kecil, lucu (bisa ngelucu) menurutkan kepada kami. Sambil menghibur Asror:

Satu hari, ada beberapa guru nggak hadir pada jam mengajar pagi. Tentu mereka bukan malas-malasan untuk menunaikan kewajiban mereka. Kondisi kelas beberapa di antaranya kacau. Maklum, anak-anak SMT swasta. Kaki pada diangkat di atas meja.

Tentu kondisi seperti ini tidak diharapkan oleh siapa pun. Termasuk kepala sekolah. Dasar lagi apes, ada salah satu kelas yang kacau beliau. Kelas salah seorang guru yang memang nggak bisa hadir hari itu. Kepala sekolah terlihat marah. Anak-anak kena semprot. Gurunya? Nggak dong, kan nggak hadir brow...

Nggak berapa lama, Agil bertemu dengan kepala sekolah. Agil pun nggak malu-malu tanya kepada pimpinannya. "Ada apa Pak...?" tanya Agil agak ketakutan melihat mimik pimpinannya.

"Ini gimana, masa anak-anak kakinya pada diangkat. Memangnya ke mana gurunya?" jawab kepala sekolah. 

"Sudah ijin Pak," jawab Agil. Sebenarnya dia tahu, kalau kepala sekolah sudah menerima informasi bahwa ada beberapa guru nggak masuk hari ini.

"Saya alpain semua...!!?!?" desak kepala sekolah.

"Siapa Pak, anak-anak dialpa semua...?" Agil terasa kaget. Waduh bisa gawat ini...

"Bukan," kata kepala sekolah. "Guru-guru yang nggak masuk itu saya alpain semua," seru kepala sekolah kemudian.

Agil terbahak-bahak nggak sanggup mengingat kejadian itu. Dia bilang sebenarnya waktu itu juga mau rasanya ketawa seperti sekarang. Cuma nggak enak saja sama kepala sekolah.

Waduh, bisa lebih gawat ini. Ada guru yang dialpain gara-gara nggak masuk. Padahal mereka nggak bolos lho. Cuma nggak masuk. Kalau murid, itu baru bolos namanya...

Leave a Reply

Labels