Kamis, 30 April 2015

neo-Sangkuni & neo-Togog

0 komentar
1430366881782195605

p4k.com Mungkin kita tidak asing dengan nama Sangkuni. Siapa yang nggak ngerti nama ini, sepak terjangnya sudah menjadi titik perhatian pemirsa tv swasta negeri ini. Anehnya, tv ini seperti tv India yang masuk ke nusantara. Nehi… nehi…

Sangkuni yang merupakan paman dari Kurawa memang tokoh antagonis yang sangant antagonis. Misi pribadinya luar biasa merusak, yang lebih parah yang dirusak adalah kedua belah pihak, Kurawa dan Pandawa. Dendam yang meluap sampai nggak terbendung membuahkan hasil perang saudara. Hingga Kurawa nyaris tak tersisa, pihak Pandawa pun habis-habisan hingga ke anak cucu mereka. Alhasil, Pandawa sebagai simbok kebenaran tetap bertahan hingga berdirinya sebuah negeri yang jaya. Luar biasanya cerita itu seolah-olah benar adanya.

Begitu kira-kira sepenggal kisah Mahabarata (Sanskerta: महाभारत). Kita tidak akan membahas seputar cerita fiksi karya Begawan Byasa atau Vyasa. Mari kita perhatikan sosok Sangkuni, dalam kehidupan kita sosok ini sering muncul ke permukaan. Orang menyamakan seseorang dengan Haryo Soman (nama lain Sangkuni) dikarenakan memiliki sifat licik dan selalu menghasut. Tidak suka keadilan, sehingga apapun layak dia lakukan untuk mencapai tujuan. Dengan kelakuannya itu, dia berhasil mengorbankan keponakannya sendiri yang berjumlah 100 orang, belum lagi dengan pasukan yang pada dasarnya tidak mengininkan perang.

Begitu juga dengan orang yang memiliki karakter seperti Patih Hastina ini, kekacauan demi kekacauan dia timbulkan. Yang sudah mapan dihasut untuk diruntuhkan. Kurawa, yang sejatinya memiliki sifat yang angkara murka, sombong, bengis, licik, sangat klop dengan pengasuhnya. Setali tiga uang mereka. Para putra Destrarastra pun tidak peduli, padahal mereka juga adalah korban kelicikan sang paman. Orang-orang seperti kurawa sangat mudah terhasut, mereka cenderung mengikuti pikiran ‘neo-Sangkuni’.

Jika Sangkuni berada di lingkungan kerajaan Hastina, lain halnya dengan Togog. Di dunia pewayangan, Togog menjadi pengasuh para penguasa dzalim. Biasaya di luara dari Wangsa Kuru. Namun, sudah menjadi lakon cerita, Togog dan momongannya akan berafiliasi ke Hastina (Kurawa). Togog merupakan anak tertua dari Sanghyang Wenang. Sejatinya dia adalah dewa dengan nama Bathara Antaga. Adiknya berjumlah 3 orang, yaitu Bathara Sarawita (Bilung), Bathara Ismaya (Semar), dan Bathara Manikmaya (Guru). Mereka semua terpisah dengan tugas dan kewajiban masing-masing. Togog dan Bilung mengasuh para penguasa dzalim, Semar mengasuh para kesatria berbudi luhur diantaran Pandawa, Guru menguasai alam khayangan.

Togog yang seharusnya memberikan nasihat yang baik, justru dia lebih banyak berbuat kebodohan, tua tapi bodoh. Menghasut momongannya untuk berbuat angkara, padahal dia tahu perbuatan itu salah. Tindak kesalahannya sering diingatkan oleh Bilung, namun Togog terus keras kepala. Dia sering tersadar saat perbuatannya membuahkan ekses negatif bin negatif.

Dalam dunia nyata pun ada ‘neo Togog’, kearifan sebagai orang tua yang perlu dicontoh tidak tampak. Justru yang ditonjolkan adalah ke’bodohan’ dan pengahasutan. Persis seperti tokoh wayang Togog. Sudah diingatkan dengan usia yang lanjut masih tetap tidak sadar. Kawan sudah mengigatkan justru dia berulah bagaimana caranya agar peringatan itu tidak mempan. Huru-hara makin disulut, bagaimana tatanan yang mapan agar porak-poranda. Cenderung melanggar aturan, dia berpikir ‘emangnya siapa lu mau ngatur gua…?’ DBS (dan banyak sekali).

Saat cerita mempertemukan sosok Sangkuni dan Togog, maka tak ayal lagi, batu sandungan Pandawa makin keras dan sangat susah untuk disingkirkan. Kelicikan, penghasutan, dendam, iri, rakus, bejat, durjana dan segudang kejelekan membendung keadilan dan kebenaran. Dan saat di dunia nyata, neo-Sangkuni dan neo-Togog bersatu, bukan tidak mungkin, prahara pun terjadi.
Seandainya di kehidupan nyata ini ada sosok DALANG, mungkin neo-Sangkuni dan neo-Togog pun akan mengadakan perlawanan kepada sang Dalang.

Sosok Sangkuni dan Togog selalu ada di lingkungan kita, kita harus jeli akan keberadaan mereka, di lingkungan tinggal, di lembaga-lembaga, di instansi, dan di dunia politik. Bahkan kita perlu bertanya pada diri kita, adakan sosok-sosok itu ada di dalam diri kita? (eddynuno)

dimuat juga di: Kompasiana

Leave a Reply

Labels