Senin, 13 Agustus 2012

Ujian Nasional dan Pertaruhan Aqidah

0 komentar
Oleh : Nur Afif E.N., S.Pd.T. (Pemerhati Pendidikan)
-- pernah diterbitkan di Radar Lampung Online --

Ujian nasional atau yang kita kenal dengan istilah UN meninggalkan banyak jejak dan warna. Pada 2012, pemerintah telah berupaya sekuat tenaga untuk mengantisipasi isu bocornya soal. Baik dari tingkat SMA/SMK, SMP, maupun SD sederajat. Tentu dengan harapan kualitas yang dicapai akan lebih baik dari tahun-tahun yang sudah lewat.

PAKET soal yang digunakan untuk mengukur keberhasilan belajar siswa disediakan dalam jumlah 5 paket. Hal ini mengharuskan peserta didik cukup ekstra jika harus bermain curang dengan menyiapkan contekan jawaban. Namun, pemerintah tidak kalah akal untuk menyiasati hal ini. Dibuatlah paket soal dengan pembagian yang berbeda untuk setiap harinya. Jadi peserta ujian tidak akan mendapatkan paket soal yang sama selama ujian berlangsung. Jangankan siswa peserta ujian, pengawas pun sedikit mengalami kesulitan di awal-awal pelaksanaan. Hal ini bukan berarti tidak terjadi kebocoran. Meski pemerintah menjamin tidak ada kebocoran, tetap saja para oknum yang memang sudah lama bermain tidak begitu banyak menemukan kendala.

Kebocoran jawaban yang beredar di kalangan siswa tidak dapat dipastikan kebenarannya. Sehingga, siswa yang cerdas kadang tidak dapat begitu saja menggunakannya. Kalau kebocoran itu berasal dari soal yang bocor dan dijawab tim tertentu berarti pemerintah kecolongan untuk kali kesekiannya semenjak digelar UN.

Sejenak kita tengok beberapa kejadian pra UN. Ketakutan dalam menghadapi Ujian Nasional terlihat di sana-sini. Sekolah-sekolah penyelenggara mempersiapkan calon peserta ujian dengan menambah jam-jam belajar, atau dikenal dengan bimbel sekolah. Dengan penambahan ini, diharapkan dapat mengantisipasi jumlah paket soal yang akan diujikan nanti. Kondisi di lapangan siswa tidak begitu tertarik dengan upaya dari sekolah, bahkan sebagian sekolah swasta sepi peserta jam tambahan.

Tidak dapat ditutup-tutupi, apalagi jika dikaitkan dengan jumlah paket yang akan diujikan. Meskipun pada dasarnya materinya sama, tetap saja meninggalkan momok yang membekas pada benak siswa. Mereka berupaya mencari solusi dengan mengikuti bimbel-bimbel di luar sekolah. Ini kaitannya dengan biaya, bagaimana jika siswa dari kalangan ekonomi menengah ke bawah? Tentu menjadi kendala lain perihal keuangan.

Seperti disiarkan pada salah satu TV swasta, berbagai persiapan dilakukan untuk menghadapi hajatan pemerintah ini. Terlihat di sana, beberapa sekolah mengadakan kegiatan doa bersama yang intinya meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk mendapatkan kemudahan dalam menempuh ujian. Sekelompok anak duduk mengelilingi seorang kiai yang sedang memimpin doa, di depannya terlihat berbotol-botol air yang digunakan sebagai media. Setelah selesai, pensil para siswa dikumpulkan untuk ditulis ’’rajah’’.

Pada kesempatan yang lain, juga disiarkan sekelompok anak sekolah berziarah kubur. Mereka mendatangi kuburan yang sudah ‘dianggap keramat’ oleh sebagian orang awam. Mereka berdoa di atasnya. Mereka lupa bahwa di rumah mereka ada yang lebih keramat, yaitu orang tua.

Anak-anak kurang paham akan aqidah yang mereka yakini. Mereka bisa saja terjerumus ke dalam kesyirikan. Bukankah batas antara syirik dan iman sangat tipis. Bahkan bisa digambarkan seperti semut hitam yang berjalan di atas batu hitam pada waktu malam gelap gulita.

Bagi masyarakat dengan kultur tertentu, hal ini sudah menjadi kebiasaan yang sudah mendarah daging. Sehingga dianggap lumrah, padahal aqidah yang menjadi taruhannya.

Upaya yang dilakukan oleh siswa untuk memperoleh nilai lulus UN dengan cara yang kurang bermartabat (baca: menyontek) bisa saja diakibatkan oleh ketakutan. Ketakutan ini diakibatkan oleh ketidaksiapan siswa dalam ujian.

Menuruta Prof. Arief Rahman (Pakar Pendidikan), pendidikan di Indonesia cenderung dipaksakan. Hal ini memang terlihat jelas, banyaknya mata pelajaran yang harus dikuasai menyebabkan siswa kurang fokus. Selain dari jumlah pelajaran, tidak jarang siswa yang tidak senang dengan pelajaran tertentu cenderung dipaksakan untuk mempelajarinya.

Di sisi lain, hingga saat ini hampir tidak ada siswa yang tahu, alasan apa yang mendasari harus mempelajari suatu pelajaran tertentu. Sebagai contoh, untuk apa mempelajari Matematika? Jika kita hubungkan dengan etika, alasan mempelajari Matematika adalah untuk mencegah penipuan dalam hubungan bisnis. Untuk mencegah terjadinya kecurangan dalam perdagangan. Begitu menurut Prof. Arief Rahman.

Perlu direnungkan apa yang disampaikan oleh guru dari Finlandia. Mereka menyampaikan bahwa ujian (semisal UN) hanya akan mengajarkan kepada anak didik tentang bagaimana menjawab soal. Jika ini terjadi maka pendidikan akan kehilangan substansinya. Menjamurnya lembaga bimbingan belajar cenderung ke arah bagaimana menyelesaikan suatu soal dengan cepat. Pada akhirnya siswa tidak memahami materi pelajaran yang disampaikan.

Jika sebuah lembaga pendidikan berorientasi pada hasil (baca: nilai ujian), lalu apa bedanya dengan lembaga bimbingan belajar. Peserta didik tidak perlu belajar selama 3 tahun hanya untuk bisa menjawab soal-soal pada ujian nasional. Mereka cukup belajar intensif selama kurang lebih satu semester. Ditinjau secara ekonomi akan lebih menguntungkan, karena biaya pendidikan bisa lebih murah.

Kesalahan dalam menyikapi ujian nasional akan terus berlarut-larut. Misalnya saja, seorang anak yang merasa takut tidak lulus akan berupaya dengan cara mencari contekan, jika perlu membeli jawaban. Dengan jawaban itu, akhirnya nilai yang diperoleh akan tinggi. Namun, saat dilakukan tes pada jenjang selanjutnya dia tidak akan pede. Pasalnya dia menyadari bahwa nilai yang diperolehnya tidak murni dan tidak sesuai dengan kemampuannya, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan ’’main belakang’’.

Disaat lulus pendidikan, tidak dapat dipungkiri akan terjadi permainan sogok-menyogok. Dalam hal pekerjaan akan cenderung korup. Saat itulah aqidah kembali tergadai. Apa pun agamanya, pasti menganggap menyontek adalah perbuatan tercela.

Jika dalam sebuah proses pendidikan menghasilkan lulusan yang tidak memiliki kepribadian seperti yang didengung-dengungkan saat ini, Pendidikan Karakter, bagaimana dan ke mana arah yang akan dicapai? Mereka hanya berpikir bagaimana cara lulus.(*)

Leave a Reply

Labels