Minggu, 19 Februari 2012

Namanya Nasib Utomo

0 komentar
“Kalian alpa hari ini…!” terdengar suara lantang dari lantai 2. Beberapa anak terdiam, seorang guru tengah terlihat menudingkan tangannya ke arah dalam kelas. Anak-anak yang jumlahnya 4 orang itu segera masuk. Tak berapa lama kemudian, terlihat mereka sudah mengenakan tas dan sepatu, 2 orang lagi membawa helem dan jaket. Mereka pulang.

Pak Ali pun berpapasan dengan 4 siswa tadi saat melewati tangga. Mereka adalah anak-anak di bawah perwaliannya sendiri. Mereka hanya bisa cengar-cengir. Anak-anak itu rupanya di saat pelajaran matematika mereka bolos ke kantin. Begitu selesai mereka nyantai di anak tangga. Pak Ali begitu mengetahui bahwa anak-anak itu tidak ikut pelajaran, langsung menuju kelas dan menganjurkan guru yang ada di kelas untuk mencoret daftar hadir mereka. Pak Ali akan bertanggung jawab jika ada yang tidak terima.

Adalah Pak Nasib, seorang guru ‘sepuh’ yang mengajar matematika. Pak Ali masih ingat saat masih duduk di bangku SMP. Ada film serial yang menampilkan tokoh Detektif Jepang tua yang bernama Ohara. Begitulah kira-kira Pak Nasib. Tubuhnya yang tidak sebegitu tinggi, dengan kondisi yang sudah tua masih berkarya ikut mencerdaskan anak bangsa. Sikapnya sangat tegas. Tidak bisa ditawar. Nasionalismenya sangat tinggi. Wajar, dia pernah menjadi calon korps marinir di Jawa Timur. Hanya karena dia tinggal sendiri yang ada dalam keluarganya, akhirnya dia ditolak.

Perjumpaannya dengan Pak Ali hanya sebentar saja. Karena pada tahun pelajaran yang akan datang Pak Nasib sudah pensiun. Dia merasa sangat prihatin melihat kondisi siswa sekarang ini. Kemauan belajar sangat kurang, cenderung membuang-buang waktu untuk belajar. Tidak memiliki etika di hadapan guru. Tidak menghargai orang tuanya. Begitulah yang dirasakan oleh Pak Nasib.

Di dalam obrolannya tiap hari sekolah, Pak Nasib tidak pernah terdengar membicarakan prihal sertifikasi. Meskipun guru-guru senior lainnya asyik membicarakan itu. Mereka berbicara tentang rekening, jumlah uang yang mereka akan terima dan segala sesuatunya yang berbau deskriminasi. Pak Nasib tidak. Hal ini mengundang pertanyaan dalam diri Pak Ali.

“Pak Nasib sertifikasinya di sekolah mana Pak…?” tanya Pak Ali kepada Pak Nasib pada satu kesempatan.

“Saya tidak perlu sertifikasi, biar Gusti Allah yang menyertifikasi saya…,” jawab Pak Nasib lantang. Dia memiliki dasar yang sangat kuat. Nasionalismenya ikut berperan dalam mewarnai kehidupannya, hingga kesehariannya sebagai guru. Dia bisa dibilang ‘guru stok lama’. Guru yang lahir dan besar pada awal-awal Oemar Bakrie memilih profesi sebagai guru.

Dia, Pak Nasib, beranggapan bahwa sertifikasi hanya bagi-bagi uang negara yang tidak ada timbal baliknya dari para guru kepada negeri ini. Mereka, para guru, cenderung menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dana sertifikasi. Tidak ada perubahan yang signifikan terhadap mutu pendidikan. Bahkan yang terlihat sekarang ini justru kebalikannya, penurunan mutu. Bagaimana tanggung jawab dia di hadapan Gusti Allah kelak?

Pendidikan sekarang bukan pendidikan seperti yang dulu lagi. Dulu, negeri-negeri tetangga belajar kepada negeri ini. Mereka belajar tentang hal-hal yang benar yang kelak di negeri asalnya akan diterapkan. Anggapan mereka benar, ilmu yang dipelajari diambil yang baik-baik saja. Sementara yang buruk tidak dibawa ke negara mereka. Mereka belajar tantang bagaimana mencerdaskan bangsanya kelak. Mereka tidak belajar sifat rakus bangsa ini. Rakus kepada apa saja, melebihi rakusnya binatang carnivora.

Saking rakusnya bangsa ini, aspal saja dimakan. Bangku sekolah dimakan. Semen, pasir, kayu, seragam, alat praktik, kendaraan, bensin, kertas, spidol, penghapus, papan tulis dan segala sesuatu yang dijumpainya bisa masuk ke dalam perutnya. Bahkan perut keluarganya. Inilah yang tidak dipelajari oleh peserta didik dari negeri tetangga saat belajar kepada kita.

Semua pejabat kebal hukum. Keadilan hanya sebuah sandiwara di depan persidangan. Sidang-sidang kejahatan, terutama tipikor, hanya sebuah tontonan untuk mengelabuhi para pemirsa keadilan negeri ini. Jelas, sutradaranya sangat pintar dan licin. Penegak hukum seperti pasukan macan ompong. Jangankan menangkap rusa untuk merobek kulit dan dagingnya, menerkam celeng tertembak yang sudah siap saji saja nggak berani.

Sejenak Pak Ali mengiyakan. Pak Ali jadi teringat akan kucing yang tinggal di rumahnya. Diamatinya kucing yang dulunya, menurut cerita, sangat doyan dengan tikus. Tikus berseliweran saja tidak sanggup dia mengusirnya karena badan tikus sudah bermutasi menjadi ‘tikus got gendut’. Jangankan mengusirnya, justru tikusnya meledek kucing tersebut. Tikus got gendut adalah bukan sembarang tikus, tidak hanya got yang menjadi tempat bermainnya. Kantor, sekolah, gedung MPR, markas-markas penegak hukum, kantor-kantor agama dan dimana saja. Seperti Tom & Jerry saja.
Beginilah bangsa ini. Sama…! Hanya beda di penampilan saja. Satu penegak hukum yang satunya kucing, satu koruptor yang satunya tikus got. Tikus got cerdas tentunya.
Nasib memang, tidak hanya Nasib saja namanya. Guru kawakan ini bernama lengkap Nasib Utomo. Dia mengalami nasib yang hampir sama dengan Bu Carolina. Pak Nasib digeser oleh birokrasinya sendiri lantaran tidak terlalu memperdulikan upeti. Dia hanya memiliki prestasi. Dan itu dianggap tidak cukup untuk menduduki kepala sekolah di sekolah bergengsi. Sekolah yang bisa dijadikan keledai untuk diambil tenaga sukarelanya. Sekolah yang bisa dijadikan sapi perahan bagi birokrasi pendidikan.

Kegigihannya dalam mempertahankan idealisme seorang patriot dan seorang guru berjiwa nasionalisme sangat sesuai dengan namanya, NASIB UTOMO. Dia adalah guru bagi Pak Ali, seorang yang membuka cakrawala ‘kebenaran’ akan dunia pendidikan sekarang ini. Guru sejati yang tidak hanya menginginkan siswanya memiliki nilai matematika yang tinggi, tapi juga budi pekertinya. Buat apa nilai matematika tinggi kalau tidak berbudi pekerti. Kenang Pak Ali.

Kini Pak Nasib sudah pensiun, jarang perjumpaan seperti ini terjadi. Dimana lagi seorang guru seperti Pak Ali menemukan gurunya seperti Pak Nasib…?

Allah memanggilnya, Jum’at (10/02/2012). Adakah Pak Nasib yang lain…? ⊛

Leave a Reply

Labels