Senin, 16 Januari 2012

Bagi-bagi Recehan

0 komentar
Sebuah cerita oleh : Nur Afif E.N.

p4k -- Sejuta tidak akan pernah ada jika kurang seribu, nggak ada seribu kalau nggak ada seratus. Logis, nilai yang ada adalah sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu jika sejuta kurang seribu. Dan sembilan ratus jika seribu kurang seratus. Beginilah pola pikir orang-orang kapitalis. Mereka menganggap segala sesuatunya layak dinilai dengan angka-angka nominal uang.

Pagi itu Pak Ali terlihat sumringah, sudut bibirnya terlihat masih sedikit mengembangkan senyum. Pasalnya, sahabat karibnya, Pak Johan baru saja curhat dengan dirinya. Pak Johan dan beberapa kawan guru lainnya baru saja selesai melaksanakan tugas sebagai panitia ujian semester di sekolahnya.

Pak Johan dan Pak Ali memang tidak hanya mengajar di satu sekolah. Pak Johan dan Pak Ali mengajar di sekolah negeri yang berbeda. Sore hari mereka sama-sama mengajar di sekolah swasta, disinilah mereka bertemu. Mereka bisa mengajar sore karena sekolah swasta tersebut menggunakan sistem 2 sift, mengingat jumlah siswanya yang begitu banyak.

Pak Ali sepertinya ingin berbagi cerita tentang kejadian yang dialami Pak Johan kepada kawan-kawan gurunya di sekolah negeri. Pak Johan bercerita bahwa kepanitiaan ujian semester tidak hanya dilaksanakan oleh ketua panitia dan anggotanya. Namun disana ada penanggung jawab. Si penanggung jawab merasa bahwa kegiatan di sekolah Pak Johan adalah tanggung jawabnya, semuanya.

Pada saat itu Pak Johan dipercaya untuk menjadi ketua panitia pelaksanaan ujian semester ganjil. Pada prosesnya, cukup sulit bagi Pak Johan untuk mengajukan sejumlah dana untuk kegiatan kali ini. Sekali maju tak cukup untuk meyakinkan sang penanggung jawab, yang merupakan atasan Pak Johan. Tiga kali maju baru mendapat approval. Padahal waktu pelaksanaan tinggal sepekan lagi.

Begitu anggaran di-acc, langsung Pak Johan selaku ketua panitia mendelegasikan tugas-tugas kepanitian kepada seluruh panitia lainnya. Mereka yang terdiri dari guru dan staf sekolah bergerak maju saling bahu membahu. Mengingat waktu yang sempit, maka panitia bergerak dan bekerja cukup ekstra. Pak Johan tinggal melakukan pemantauan dan pengarahan layaknya mandor bangunan.

Pak Johan beserta bendaharanya masih teringat dan akan selalu teringat pesan dari penanggung jawab kegiatan. “Tolong diirit-irit ya Pak, biar nanti ada sisanya. Saldo yang ada nanti kita bagi. Kita bagi dua. Untuk pihak pertama, yaitu buat saya selaku penanggung jawab dan wakil-wakil saya. Untuk pihak kedua, yaitu buat Pak Johan, bendahara dan sekretaris yang sudah bekerja keras untuk terlaksananya kegiatan ujian ini…!” begitu pesan dari penanggung jawab. Pak Johan yang jiwanya sangat menentang korupsi dan segala bentuknya sangat menyesalkan hal ini. Namun, apa mau dikata, dia hanya seorang bawahan.

Pak Johan dan Pak Ali memiliki karakter yang sama, sangat anti terhadap korupsi. Apalagi pekerjaan mereka adalah sebagai pendidik. Meskipun mereka tidak bertugas di tempat yang sama, namun ada kemiripan kondisi masyarakat di sekitar sekolah tempat mereka bertugas. Masyarakatnya dalam kondisi miskin. SPP kadang tertunda dengan alasan belum panen, anak-anak didiknya untuk uang jajan saja kadang tidak ada. Sebagian ikut numpang kawannya untuk sampai ke sekolah. Pak Johan hanya bisa menahan sedih.

***
Apa yang sudah direncanakan kadang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pak Johan sebagai ketua pelaksana didampingi seorang guru yang memang memiliki pengalaman di bidang pendidikan. Lain dengan Pak Johan, meskipun dia memiliki leadership untuk masalah pengalaman masih kalah dengan Pak Adjit untuk masalah administrasi. Pak Adjit adalah guru yang dipilih oleh Pak Johan untuk mendampinginya sebagai pelaksana ujian semester. Semua dipersiapkan oleh Pak Adjit dalam waktu 2 pekan. Luar biasa kerjanya, two tumbs buat Pak Adjit.

Memang betul, rencana tidak selamanya akan akur dengan harapan. Panitia pun sudah mempersiapkan semacam penangkalnya atau antisipasinya. Menurut Pak Johan, pada hari pertama saja ada guru yang mendapat jadwal mengawas ternyata tidak bisa melaksanakan tugasnya. Mereka yang tidak hadir digantikan oleh panitia, dengan catatan honor mengawasnya diserahkan kepada panitia yang menggantikan tadi. Panitia yang mengawas tadi menyerahkan honor mengawasnya kepada bendahara panitia untuk dibagi rata kepada seluruh panitia. Hal ini mengingat panitia juga mendapat honor kepanitiaan tiap hadirnya, sehingga tidak dobel menerima honor hariannya. Kejadian ini selalu ada hingga ujian selesai. Panitia pun mendapat tambahan ‘ghonimah’ untuk dibagi rata sesama panitia.

Jika memang ini keluar dari keringat panitia, sah-sah saja untuk dibagi. Itulah yang diungkap oleh Pak Johan. Komitmen ini ditularkan Pak Johan kepada sekretaris dan bendaharanya. Mereka pun sependapat untuk tidak ‘memakan’ hasil diluar dari insentip yang sudah disepakati.

Semua guru pengawas ujian sudah mendapatkan haknya, begitu juga guru mata pelajaran yang lain sebagai honor naskah dan honor koreksi. Bagi panitia, masih harus menunggu untuk mendapatkan hak insentip kepanitiaan. Tentu harus menunggu tuntasnya pelaksanaan ujian semester hingga nilai semester sampai di tangan wali kelas.

Sudah menjadi tugasnya, bendahara harus merekap semua pemasukan dan pengeluaran anggaran. Pak Johan meminta kepada bendarharanya agar terjadi keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran. Pokoknya harus nol.

Menurut perhitungan bendahara, semua sudah didistirbusikan dengan tepat, semua dapat dipertanggungjawabkan. Belum termasuk anggaran cadangan yang belum dicairkan. Uang sisa yang ada hanya berasal dari kembalian konsumsi sebesar 25 ribu rupiah. Dan ada lagi pemasukan untuk panitia yang sumbernya dari panitia yang mengawas menggantikan guru pengawas yang tidak hadir. Jumlahnya 120 ribu rupiah.

Semua uang sisa harus dibagi kepada panitia. Sudah saatnya laporan kepada penanggung jawab. Semua berkas sudah dipersiapkan oleh Pak Adjit selaku sekretaris panitia.

Pertemuan dalam rangka laporan kegiatan dilangsungkan di sebuah ruangan rahasia. Untuk dilakukan di rumah makan tidak mungkin, mengingat tidak adanya rumah makan terdekat, juga tidak adanya anggaran. Yang pertama dilaporkan adalah kondisi keseimbangan neraca antara pemasukan dan pengeluaran.

Pak Johan, selaku ketua penitia, menanyakan perihal anggaran cadangan yang belum cair. Namun, oleh penanggung jawab dikatakan secara tidak langsung bahwa anggaran itu akan dicairkan dengan syarat anggaran itu harus dibagi-bagi kepada pihak pertama dan pihak kedua.

Begitu kira-kira yang ditangkap oleh Pak Johan dan bendaharanya. Begitu juga uang saldo dari konsumsi dan saldo pengawas, harus dibagi kepada kedua pihak. Tiba-tiba Pak Johan menolak, jika saldo pengawas hanya dibagi kepada mereka, pihak pertama dan kedua. Pasalnya yang mengawas adalah guru yang tidak termasuk kedua pihak. Guru yang menggantikan pengawas adalah panitia selain ketua, sekretaris dan bendarhara. Saldo itu adalah keringat para panitia yang menggantikan guru pengawas yang tidak hadir, Pak Johan berargumen. Pada awalnya penanggung jawab tidak menyetujuinya. Penanggung jawab seperti tidak dapat menerima.

Pihak panitia bersikukuh akan membagi saldo pengawas kepada seluruh panitia sebanyak 20 orang. Jadi bisa dibayangkan, 120 ribu rupiah dibagi 20 orang. Masing-masing panitia hanya akan mendapatkan 6 ribu rupiah. Nggak apalah, yang penting halal. Meskipun berat hati, penanggung jawab harus mau mengikuti apa yang disampaikan Pak Johan.

Untuk saldo konsumsi dan anggaran cadangan, Pak Johan bersama sekretarisnya dan bendaharanya sudah berkomitmen untuk tidak mengambilnya. Itu adalah uang siswa. Kalaupun mereka terpaksa harus tanda tangan bukti tanda terima, mereka akan menandatanganinya. Itupun uangnya akan langsung disalurkan kepada yang berhak. Atau disumbangkan ke dana sosial.

Pak Johan dan bendaharanya hanya mampu mengurut dada. Menurut bendahara panitia, kok ada orang yang tega-teganya memakan uang siswa. Padahal mereka orang-orang nggak punya. Duh Gusti…! Lagi-lagi terbukti, sehebat apapun bangkai yang dibungkus tetap saja akan mencemarkan bau tak sedap. Pak Johan, sekretarisnya dan bendaharanya berhasil ‘mengendus’ bau tak sedap itu secara langsung.

Pak Johan, Pak Adjit dan bendahara adalah guru-guru muda. Mereka awalnya hanya mendengar cerita dari panitia-panitia sebelumnya. Mereka akhirnya tahu birokrasi dalam sekolah yang mereka juga berada di dalamnya.

Pak Adjit, dalam hal ini sebagai skertaris panitia sudah membuat bukti serah terima. Anggaran cadangan akan segera dapat dicairkan dengan syarat sesuai permintaan penanggung jawab. Saldo anggaran yang terkumpul adalah 525 ribu rupiah, termasuk saldo konsumsi. Di tengah perjalanan, penanggung jawab juga mengusulkan agar bendahara sekolah juga mendapatkan bagian dan dimasukkan ke pihak pertama, diluar panitia murni. Dana saldo dibagikan kepada 8 orang. Yaitu pihak pertama ada 5 orang, yang terdiri dari penanggung jawab, wakilnya 3 orang dan seorang bendahara sekolah. Pihak kedua ada 3 orang, yang terdiri dari ketua panitia, sekretaris dan bendahara.

Pembagiannya harus proporsional. Lain dengan pembagian saldo pengawas yang harus dipukul rata. Untuk saldo anggaran cadangan dan konsumsi harus dibedakan. Porsi terbesar harus penanggung jawab. Yang lainnya mengikuti. Yang jelas porsi terbesar harus penanggung jawab, tidak boleh ketua panitianya. Meskipun yang berpeluh keringat adalah ketua panitianya. Pokoknya harus seperti itu, titik.

Anggaran cadangan akhirnya cair. Kegiatan bagi-bagi recehan berlangsung di sebuah ruangan bawah tanah yang cukup aman dan tersembunyi. Tidak dapat diendus oleh pihak berwajib apalagi orang tua siswa. Apalagi orang tua siswa yang ‘kere-kere’. Tidak dapat ditembus pandang oleh para malaikat apalagi guru-guru yang bermental kerdil.
Pak Johan dengan senang hati menandatangani bukti penerimaan insentip 300 ribu rupiah sebagai ketua panitia. Ditambah pemerataan saldo pengawas, lumayan 6 ribu rupiah. Halal. Begitu juga sekretaris dan bendaharanya, mereka tampak senang menerima hasil jerih payahnya selama 3 pekan.

Untuk saldo anggaran cadangan dan konsumsi, Pak Johan menandatanganinya sambil memejamkan mata, rencananya. Karena takut salah menerakan tanda tangan, akhirnya dia ‘melek’ juga. Takut kalau-kalau salah meletakkan tanda tangan. Jangan sampai mengisi tanda tangan di tempat tanda tangan penanggung jawab.

Pak Johan, Pad Adjit dan bendahara panitia lega. Kegiatan sudah selesai. Laporan beres. Pengalaman spektakuler kali ini. Pengalaman bagi-bagi recehan. Ternyata orang yang kesehariannya naik kendaraan mahal pun masih ‘doyan’ recehan. Tanpa recehan uang gede pun nggak bakalan ada. Mungkin itulah yang ada dalam pikirannya. Atau dia berpikir, beginilah cara kaya yang sebenarnya.

“Tenang Pak Adjit dan bendahara, saya siap bertanggung jawab atas kepemimpinan saya,” seru Pak Johan. “Apalagi ada yang memback-up kegiatan, kan ada penanggung jawab. Dia juga wajib mempertanggung jawabkan uang recehan yang dia terima.” Pak Johan merasa lega…!

Pak Ali pun bangga dengan kawannya tersebut. Komitmennya untuk membenci korupsi dan segala bentuknya masih kuat terlihat. Semoga semakin banyak guru seperti Pak Johan. Namun begitu, Pak Ali kadang masih tersenyum sendirian saat mengingat kasus yang dialami oleh Pak Johan. Buaya kok dikadalin…! ⊛

Leave a Reply

Labels